Sabtu, 11 Mei 2013

Paragonimus westermani



a)   Klasifikasi
Kingdom         : Animalia
Filum               : Platyhelminthes
Kelas               : Trematoda
Ordo                : Plagiorchiida
Famili              : Troglotrematidae
Genus              : Paragonimus
Spesies             : Paragonimus Westermani

b)   Hospes dan Nama Penyakit
              Hospes perantara pertama adalah keong beroperkulum dari genus Hua, Semisulcospira, Syncera dan Thiara. Hospes perantara kedua adalah ketam air tawar dari genus Eriocheir, Potamon, Sesarma dan Parathelpusa (Brown, 1979). Hospes definitive dari parasit ini adalah manusia dan mamalia pemakan ketam yaitu kucing luak, anjing, harimau dan serigala. Penyakit yang disebabkan oleh Paragonimus westermani adalah paragonimiasis, distomiasis paru-paru. Penyakit ini termasuk kelompok zoonosis. (Onggowaluyo, 2001)

c)    Morfologi
              Cacing dewasa berwarna merah kecoklatan, berukuran 12-18 x 4-6 mm.Pada saat aktif seperti sendok dengan ujung satunya berkontraksi dan yang lainnya memanjang, bentuk pada ssat kontraksi menyerupai biji kopi,membujur dan pipih,kutikula berduri. Batil isap kepala besarnya sama dengan batil isap perut.Batil isap perut terletak tepat di anterior garis anterior. Testis berlobus dalam dan tidak teratur,terletak miring dan berada sepertiga bagian dari posterior tubuh. Ovarium besar dan berlobus,terletak disebelah anterior testis,disebelah kanan  berhadapan dengan uterus yang berkelak kelok.Telurnya berbentuk lonjong dan berwarna kuning kecoklatan berukuran 95 x 45 mikron, dinding dua lapis, pada salah satu ujung terdapat operkulum besar dan ceper ( pendek ). Sedangkan pada ujung yang lain dinding mengalami penebalan.Isi telur berupa morula. (Onggowaluyo, 2001)
d)   Distribusi Geografik
              Cacing ini ditemukan di RRC , Taiwan, Korea, Jepang, Filipina, Vietnam, Thailand , India, Malaysia, dan Amerika Latin.Cacing  juga dapat ditemukan di Indonesia namun hanya pada binatang,sedangkan pada manusia hanya sebagai kasus impor saja (Bagian Parasitologi FKUI,1998).

e)    Siklus Hidup

              Siklus hidup dimulai ketika telur menetas dan mirasidium keluar dari dalam telur. Telur yang dapat dikeluarkan melalui tinja maupun sputum ini, tidak memiliki mirasidium secara langsung namun, telur akan matang dan berisi mirasidium dalam waktu 16 hari setelah dikeluarkan oleh hospes definitif. Setelah mirasidium keluar, mirasidium akan hinggap di hospes perantara yaitu keong air. Setelah itu di dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perubahan menjadi sporokista, redia I,redia II dan kemudian menjadi serkaria.  Serkaria keluar dari keong dan berenang menuju hospes definitif II yaitu udang batu, kepiting maupun ketam yang kemudian akan  membentuk metaserkaria di dalam tubuhnya. Metaserkaria yang termakan oleh hospes definitive yaitu manusia kemudian akan menjadi cacing dewasa di dalam duodenum. Cacing dewasa muda kemudian akan bermigrasi menembus difragma dan menuju ke paru. Jaringan hospes kemudian akan mengadakan reksi jaringan shingga cacing terbungkus di dalam kista. (Bagian Parasitologi FKUI, 1998)
              Di dalam paru kista akan menetas menjadi telur yang kemudian menyebabkan batuk. Telur telur tersebut sebagian tertelan dan melanjutkan daur hidupnya di hospes definitif dan sebagian lagi ada yang keluar melalui tinja maupun sputum. Infeksi dapat terjadi apabila manusia memakan udang kepiting, maupun lobster dalam keadaan tidak matang atau mentah. (Anonim, 2010)

f)     Epidemiologi
              Paragonimus westermani adalah kosmopolit terhadap mamalia, kosmopolit terhadap manusia banya ditemukan di daerah Timur Jauh. Daerah endemic utama adalah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Tiongkok dan Filiphina. Manusia mendapat infeksi bila memakan ketam air tawar atau udang batu mentah yang terkena infeksi. Kebiasaan di daerah Timur adalah memakan udang batu yang diasinkan atau disajikan menjadi ketam mabuk. Ketam mabuk dibuat dengan dicampurkan anggur dan metaserkaria masih dapat hidup selama beberapa ajm dalam cairan anggur. (Brown, 1979)
              Infeksi pada anak terjadi karena ketam air tawar digunakan sebagai obat campak dengan cara ditumbuk dan diambil cairannya. Hal ini sering dilakukan di daerah Korea. (Brown, 1979)


g)   Patologi dan Gejala Klinis
              Apabila cacing dewasa berada dalam kista paru-paru atau bronkus, penderita dapat mengalami gejala batuk kering dan sesak nafas, sakit dada dan demam. Kasus ini disebut dengan hemoptisis endemis dan kejadiannya terjadi pada pagi hari. Sepintas gejala ini mirip dengan tuberculosis aktif. Penderita biasanya mengeluarkan sputum berdarah (berwarna karat). Pada pemeriksaan fisik menunjukkan suatu bronkopneumoni dengan efusi pleural. (Onggowaluyo, 2001)
              Migrasi cacing dewasa ke organ lainnya dapat menimbulkan gejala yang berbeda-beda tergantung dari organ yang diserang. Keadaan selanjutnya, cacing berada pada otak dan dapat menimbulkan desakan jaringan yang ada disekitarnya. Hal ini menyebabkan prognosis yang buruk karena penderita akan mengalami epilepsy, hemiplegia atau monoplegia. Cacing yang ada di bawah kulit dapat menimbulkan tumor yang dapat digerakkan. Secara patologis, lokalisasi di paru terdapat reaksi-reaksi jaringan yang mendahului pembentukan kapsul jaringan fibrosis (bungkus berwarna biru mengandung sepasang cacing, telur dan infiltrasi radang). (Onggowaluyo, 2001)

h)   Diagnosis
              Diagnosis kuat dibuat dengan menemukan telur di dalam sputum maupun cairan pleura. Kadang – kadang telur juga dapat ditemukan di dalam tinja orang yang terinfeksi. Reaksi serologi merupakan cara yang efektif di dalm melakukan diagnosis (Bagian Parasitologi FKUI,1998).

i)     Pengobatan
              Klorokuin yang diberikan pada orang dewasa hasilnya cukup baik. Bitiono dan tiobisdiklorofenol yang diberikan peroral dapat menyembuhkan 90% dari 1.315 penderita yang diobati, tetapi memberikan reaksi efek samping seperti diare, kemerahan kulit dan sakit perut. (Onggowaluyo, 2001)

j)     Pencegahan
              Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak setiap udang, keong, ketam maupun kepiting hingga matang dan menghindari memakannya secara langsung (mentah). Pembuangan tinja dan sputum pada tempatnya (jamban)  juga dapat mengurangi penyebaran cacing ini (Anonim,2010).

2 komentar:

  1. bagus sekali. tapi akan lebih bagus kalau ada daftar pustakanya
    Please visit my blog http://jawarakesehatan.blogspot.com/

    BalasHapus