1. Schistosoma
japonicum
a)
Klasifikasi
Spesies : Schistosoma Japonicum
b)
Hospes
dan Nama Penyakit
Hospes
utamanya adalah manusia dan beberapa jenis hewan seperti tikus sawah, babi
hutan, sapi dan anjing hutan. Hospes
perantara dari cacing ini adalah keong air (
Oncomelania sp ) dan di Indonesia yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis (
Onggowaluyo, 2001
). Habitat keong air yang berada di
Danau Lindu adalah di daerah ladang, sawah yang tidak terpakai lagi, parit
diantara sawah dan di daerah hutan perbatasan bukit, serta dataran rendah. (FKUI, 1998)
Parasit ini akan menyebabkan
penyakit yaitu Oriental schistosomiasis,
Schistosomiasis japonica dan penyakit Katayama
atau demam keong. (Onggowaluyo, 2001)
c)
Morfologi
Telur berhialin,
subsperis atau oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutub terdapat
daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol); berukuran (70-100) × (50-65) m. khas sekali, telur
diletakkan dengan memusatkannya pada vena kecil pada submukosa atau mukosa
organ yang berdekatan. Tempat telur s. japonicum biasa pada percabangan vena
mesenterika superior yang mengalirkan darah dari usus halus (Natadisastra,
2005).
d)
Distribusi
geografik
Parasit
S.
japonicum
ditemukan di Asia
terutama di
Cina,
Filipina,
Jepang
(saat ini sudah tidak ditemukan
lagi karena program pengendalian telah sukses dilaksanakan).
Indonesia dapat ditemukan dibeberapa
lembah yang
terisolasi
di
Sulawesi Tengah
(sekitar Danau Lindu pada tahun 1937 dan Lembah Napu ditemukan tahun 1972.
( Departement of parasitology Univ. Cambridge, 2010)
e)
Siklus
Hidup
Schistosoma hidup terutama di dalam vena mesenterika superior, di tempat ini betina menonjolkan tubuhnya dari yang jantan
atau meninggalkan yang jantan untuk bertelur di dalam venula-venula mesenterika
kecil pada dinding usus. Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit
telur. Massa telur menyebabkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang
biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih
berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus
lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu
cacing ditemukan di dalam pembuluh darah (Muslim, 2009).
Selanjutnya jika
kontak dengan siput sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu,
membentuk generasi pertama dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjtunya
dibentuk cercaria yang bercabang. Cercaria ini dikeluarkan jika siput berada
pada atau di bawah permukaan air. Dalam waktu 24 jam, cercaria menembus kulit
sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik,
menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan
paru-paru, terbawa sampau ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak
sepenuhnya rute perjalanan ini diambil oleh schistosomula (schistosoma muda)
pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap
melawan aliran darah sepanjang dinding A. Pulmonalis, jantung kanan, dan vena
cava menuju ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka
waktu yang tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun. (Natadisastra, 2005)
Penetasan
berlangsung di dalam air. Walaupun Ph, kadar garam, suhu, dan aspek lainnya
penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam proses penetesan.
Migrasi Schistosoma japonicum ke
dalam tubuh dimulai dari masuknya cacing tersebtu ke dalam pembuluh darah
kecil, kemudian ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang
migrasi biasanya tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi
kadang terjadi reaksi hebat, misalnya pneumonia akibat masuknya cacing ke dalam
paru. Schistosoma japonicum merupakan
penyakit yang ebih berat dan destruktif daripada penyakit yang disebabkan oleh
dua spesies lain yang biasa menginfeksi manusia (Muslim, 2009)
f)
Epidemiologi
Schistosoma japonicum adalah
satu-satunya trematoda darah pada manusia yang kebetulan ditemukan
di Cina. Ini adalah penyebab schistosomiasis japonica,
penyakit yang masih tetap menjadi masalah kesehatan yang
signifikan terutama di daerah danau dan tanah rawa. Schistosomiasis adalah infeksi
yang disebabkan terutama
oleh tiga spesies schistosome berikut yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium. S. japonicum yang memiliki sifat
paling menular diantara ketiga spesies tersebut. (Tie-Wu Jia et al, 2007)
Jika tidak diobati, ia akan
berkembang menjadi suatu kondisi kronis yang ditandai dengan penyakit
hepatosclemic dan perkembangan fisik dan kognitif terganggu. Tingkat keparahan Schistosoma japonicum muncul dalam 60%
dari semua penyakit saraf di Schistosomes
karena migrasi telur ke otak. (Robert
et al, 2005)
Strain bersifat
geographical. Telah diketahui ada 2 strain, yaitu strain Thailand-malasyia dan
strain Sulawesi. Terdapat perbedaan pada kedua strain tersebut, yaitu pada tuan
rumah yang sesuai. Di Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemic tinggi di daerah
danau lindu. Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat infeksi s.
japonicum 53 % dari 126 orang penduduk pada usia antara 7-70 tahun, dan di
lembah Napu dilaporkan infection rate
8 dan 12 % pada dua desa serta 7 % pada Ratus
exulans, tikus liar .
g)
Patologi
dan Gejala Klinis
Sebagai penyakit kronis, parasit
ini dapat menyebabkan demam Katayama, fibrosis hati, sirosis hati, hipertensi
hati portal, spinomegali dan ascites. Beberapa telur mungkin lewat hati dan
masuk paru-paru, system saraf dan organ lain di mana mereka dapat memengaruhi
kesehatan individu yang terinfeksi. (Robert et al, 2005)
h)
Diagnosis
Identifikasi mikroskopis telur dalam
tinja atau urin adalah metode yang paling praktis untuk
diagnosis. Pemeriksaan feses harus dilakukan ketika infeksi S. mansoni atau S. japonicum dicurigai, dan
pemeriksaan urin harus dilakukan jika diduga terinfeksi S. haematobium . Telur
dapat berada
dalam tinja pada infeksi semua spesies Schistosoma.
Pemeriksaan dapat
dilakukan pada Pap sederhana ( pap untuk 1 sampai
2 mg feces). Sejak telur dapat ditularkan sebentar-sebentar atau
dalam jumlah kecil, deteksi mereka akan ditingkatkan
dengan pemeriksaan ulang dan atau melakukan prosedur konsentrasi
(seperti formalin - teknik etil asetat). Selain itu,
untuk melakukan survei
lapangan dan tujuan yang diteliti, keluaran telur dapat
diukur dengan menggunakan teknik Kato-Katz (20 sampai 50
mg feces) atau teknik Ritchie. Telur dapat
ditemukan dalam urin pada infeksi dengan S. haematobium (waktu yang disarankan untuk koleksi
antara siang dan 3 sore) dan dengan S.japonicum. Deteksi akan ditingkatkan dengan sentrifugasi dan dengan melakukan pemeriksaan sedimen. Kuantifikasi ini
bisa dilakukan menggunakan filtrasi melalui
membran Nucleopore dari volume standar urin diikuti
oleh jumlah telur pada membran. Biopsi jaringan (biopsi
rektal untuk semua jenis dan biopsi kandung
kemih untuk parasit
S. haematobium)
dapat menunjukkan adanya
telur ketika
pemeriksaan tinja atau urin negatif.
Telur S. japonicum kecil, sehingga diagnose teknik
konsentrasi mungkin diperlukan. Biopsi sebagian besar dilakukan
untuk menguji schistomiasis kronis tanpa telur.
Tes dengan metode ELISA dapat juga dilakukan
untuk menguji antibodi
yang spesifik untuk schistosomes. Hasil
positif menunjukkan infeksi saat ini
atau terakhir (dalam dua tahun terakhir).Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dilakukan untuk menilai sejauh mana
morbiditas hati dan limpa terkait (Tie-Wu Jia et al,
2007). Masalah dengan metode immunodiagnostic adalah bahwa
Hanya positif waktu tertentu setelah
infeksi dan Mereka bisa menyeberang
atau berinteraksi dengan infeksi cacingan lainnya (Robert
et al, 2005).
i)
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan
memberikan prazikuantel. Selain itu dapat juga digunakan natrium antimony
tartrat. Obat lainnya tidak memberikan hasil yang memuaskan karena sebenarnya
tidak ada obat khusus untuk parasit ini. Obat-obatan yang akan menyebabkan
terlepasnya pegangan cacing dewasa pada pembuluh darah, sehingga akan tersapu
ke dalam hati oleh sirkulasi portal. (Onggowaluyo, 2001)
j)
Pencegahan
Kontrol infeksi Schistosoma japonicum memerlukan
beberapa upaya pencegahan
penting yang
terdiri dari pendidikan, menghilangkan penyakit dari orang yang
terinfeksi, pengendalian vektor dan
memberikan vaksin pelindung.
(Robert et al, 2005)
Pendidikan dapat menjadi cara yang sangat efektif,
tetapi sulit dengan kurangnya sumber daya. Dilakukan juga, meminta orang
untuk mengubah kebiasaan, tradisi dan perilaku dapat
menjadi tugas yang sulit (Robert et al, 2005).
Mengontrol S. japonicum dengan molluscicide telah
terbukti tidak efektif karenaOncomelania bekicot amfibi dan
air hanya sering untuk bertelur (Robert et al, 2005).
Kotoran
manusia harus dibuang secara higienis. Kotoran
manusia di dalam air
bila bertemu dengan hospes intermediet siput Oncomelania merupakan
penyebab utama untuk kelangsungan hidup cacing schistosoma. Maka, kotoran sisa manusia
tidak
boleh
digunakan untuk nightsoiling (pemupukan tanaman dengan kotoran
manusia). Untuk menghindari infeksi, individu harus menghindari
kontak dengan air yang terkontaminasi oleh kotoran
manusia atau hewan, sumber air terutama yang
endemik untuk siput Oncomelania (Robert et al, 2005).
Sesaat sebelum memasuki perairan atau daerah air yang berpotensi terinfeksi, repellants cercarial dan
salep cercaricidal dapat diterapkan pada kulit sebelum
masuk air. Barrier krim dengan
basis dimethicone ditawarkan perlindungan tingkat
tinggi selama minimal 48 jam (Ingram R.J et al, 2002). Pencarian untuk
vaksin praktis terus dan sangat dapat mengambil manfaat daerah
bencana (Robert et al, 2005).
ada sitasi tapi tidak ada dapus. gimana tho????
BalasHapusada sitasi tapi tidak ada dapus. gimana tho????
BalasHapus